Senin, 13 Oktober 2014

Shinichi Kudo

















Senin, 30 Juni 2014

Welcome Ramadhan!

Assalamu'alaikum, blogger~

Berhubung kita udah masuk ke Bulan Suci yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh umat muslim sedunia, maka sebagai orang muslim gue juga pengen ngucapin :

SELAMAT BERPUASA. MOHON MAAF LAHIR BATIN.

Semoga, amal ibadah kita diterima oleh Allah, terus puasanya juga berkah, dan semogaaaaa kita diberikan kesempatan untuk bisa berjumpa kembali dengan Bulan Ramadhan di tahun-tahun berikutnya bersama seluruh umat muslim lainnya. Aamiin.....

Sekian dulu postingan ini. Maaf kalo telat -_-v

Wassalam,


Minggu, 30 Maret 2014

Aku Bukan Aku

Inilah aku. Sosok manusia yang dulu sempat menjadi kebanggan mereka. Inilah aku. Sosok manusia yang mungkin sekarang, tak ubahnya abu yang dapat dengan mudahnya singgah pada tempat yang ditemuinya. Waktu bergulir begitu cepat membiarkan aku tumbuh menjadi sosok yang tak lagi aku kenal. Menjadi sosok yang terkadang tak pernah ku duga, tak pernah ku bayangan, dan tak pernah ku harapkan!

Sulit rasanya menerima kenyataan bahwa aku bukanlah aku. Ya, sekali lagi. Aku bukan aku! Entah siapa yang telah berubah, aku atau memamg beginikah adanya? Sulit sekali ku pahami. Berulang kali sudah ku tanyakan pada Tuhan tentang semua yang telah terjadi padaku. Tapi sepertinya Tuhan hanya  mendengarkan setiap celotehan dan semua pertanyaanku dan menunggu waktu yang tepat untuk memberitahuku akan semua ini. Ah, sudahlah.

Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Setiap tempat pun telah berubah. Suasana tak lagi sama. Memori tinggalah memori. Beribu peran pun sudah ku mainkan di setiap tempat. Tapi tetap saja, aku bukanlah aku. Pertanyaan demi pertanyaan itu tak pernah lelah membayangi setiap sudut cerebrum ini. Aku terus mengabaikannya. Tapi tetap saja, aku tak bisa mengelak bahwa aku bukanlah aku.

Sampai titik dari semua titik itu pun tiba. Emosiku memuncak. Aku di luar kendali. Aku mencaci setiap apa pun yang ku perbuat. Aku mencaci setiap apa yang ku pikirkan. Persetan dengan semua pertanyaan itu! Bersyukur jauh lebih penting, hei manusia! Bodoh! Kau tak lebih dari anak dungu yang terus saja mempertanyakan siapa dirimu, apa kau tahu itu? Persetan dengan semua! Aku mengutuki diriku. Aku di luar kendali dan benar-benar seperti orang yang kerasukan.

Aku pun berusaha menenangkan diriku. Tenggelam bersama alam bawah sadarku. Melayang dalam mimpi yang entah ku tahu. Mencari setitik jawaban dari semuanya. Beberapa saat kemudian aku pun terbangun dari perjalanan jauhku. Aku pun sadar akan semua.

Dan kini....

Semuanya telah berubah. Aku bukanlah aku. Namun, aku mendapat sebuah jawaban dari semua yang telah terjadi. Cukuplah kita memainkan peran dengan sebaik mungkin atas skenario yang telah Tuhan berikan, walaupun aku bukanlah aku, dan kau bukanlah kau.

Terima kasih, untukMu, Tuhan.......

Kamis, 13 Maret 2014

Semuanya Telah Berubah

Angin kembali menyibakkan rambut hitamku. Menggugurkan satu per satu daun yang tak lagi kuat bertahan pada setiap ranting. Burung pun ikut serta hilir mudik. Mencari peraduan yang sekiranya mampu sebagai tempat bermalam dan melepas lelah. Aku masih sibuk duduk termenung di bawah pohon besar di ujung taman ini. Merasakan angin yang kini semakin lama semakin sering menyibakkan rambutku. Menikmati indahnya taman di sore menjelang malam ini. Dan mencoba mengerti tentang semua permasalahan yang kini tengah terjadi.

Semuanya telah berubah. Dunia semakin kejam! Benarkah? Atau mungkin, memang manusia yang tiada pernah berhenti bersyukur pada Dzat yang telah memberinya begitu banyak oksigen sampai detik ini? Ah, aku bingung. Bingung bahkan mungkin lelah untuk mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi. Kabar burung itu datang silih berganti. Kejadian demi kejadian seakan sebagai episode demi episode dalam drama ftv yang sering diputarkan dalam beberapa stasiun televisi. Mengancam setiap yang bernapas. Memburu setiap darah yang mengalir. Aku takut! Tuhan, aku takut dengan semua ini, Tuhan. Semuanya telah berubah.

Lalu siapa lagi yang dapat ku percayai, Tuhan?

Aku kembali tertunduk setelah menarik napas dan menghembuskannya kembali. Sedetik kemudian ku genggam erat besi yang sedari tadi menjadi tempat dudukku. Aku pun menarik napas dan menghembuskannya lagi. Dari jauh, rumput seakan menertawakan keberadaanku di tempat yang kini tak lagi ramai. Aku bingung. Sungguh. Aku takut. Aku.....Aku....

Siapa lagi yang dapat ku percayai selain Engkau, Tuhan?

Semuanya telah berubah. Semuanya. Tak ada lagi yang tersisa. Kini, hanya ada Engkau dan beberapa makhluk cipataan Mu yang sekiranya masih mengingat Engkau dalam setiap hembusan napasnya. Aku ingin kembali seperti dulu. Merasakan ketenangan. Memiliki rasa percaya pada orang lain. Menaruh rasa empati pada setiap orang yang ku temui. Menjadi makhluk normal tanpa harus memliki rasa takut untuk mengenal orang baru dalam hidupku. Ya, memiliki sedikit saja rasa percaya pada orang baru. Orang baru. Benar. Ya, orang baru yang sekiranya dapat membuat hidupku menjadi lebih baik. Ah, ku harap aku tak berlebihan dengan semua ini.

Ya, semuanya telah berubah. Krisis iman dan kepercayaan melanda bak ombak yang kapan saja dengan mudahnya menerjang rumah-rumah penduduk di sekitar pesisir pantai. Semuanya benar-benar telah berubah. Untuk ke sekian kalinya, Tuhan, siapa lagi yang dapat ku percayai? Berita di luar sana begitu mengerikan. Peristiwa itu tak masuk akal, tapi......

Siapa lagi yang dapat ku percayai, Tuhan?

Untuk yang Tak Dapat Ku Gapai

Hai sosok yang tak dapat ku gapai.......

Semoga kau tetap bahagia dan dapat selalu tersenyum lepas bersama orang-orang baru di sekelilingmu. Ini aku. Sosok yang tak dapat menggapaimu. Sosok yang selalu merindukan memori usang itu kembali, seperti film dokumenter yang sekiranya dapat kembali diputarkan di bioskop. Semoga kau baik-baik saja bersama mereka, orang-orang baru yang kini menjadi bagian dalam hidupmu. Aku di sini pun baik-baik saja. Aku, masih aku, yang sepuluh tahun lalu kau tinggalkan tanpa sepatah kata pun, saat kau, dengan langkah mantap meninggalkan ibu kota yang ramai dengan gemerlap dunia malamnya. Ya, aku masih di sini. Menunggumu yang semakin lama semakin hilang keberadaannya.

Hai sosok yang tak dapat ku gapai.......

Semoga kau bahagia menikmati alur hidupmu yang baru. Semoga kau dapat bertemu dengan sosok yang sekiranya dapat lebih baik dariku. Semoga kau, tetap menjadi kau, yang ku kenal sepuluh tahun lalu. Semoga kau tak pernah merasakan apa yang ku rasakan, ya. Semoga kau.....Semoga....Semoga.....Ah, sudahlah.

Hai sosok yang tak dapat ku gapai.......

Aku tak ingin meminta lebih padamu. Aku tak ingin membuatmu menjadi lebih sibuk untuk mengingat keberadaan sosok seperti aku. Aku hanya meminta satu. Dapatkah kau kembali hanya untuk mengatakan sepatah kata perpisahan pada sosok yang begitu merindukanmu ini?




Sosok yang Tak Dapat Menggapaimu







Kamis, 20 Februari 2014

Amoradoloza Pratavartitha (Aloza)

Amoradoloza Pratavartitha......

Aloza.......

Ini adalah nama dari sekelompok manusia yang tergabung dalam ruang kecil bernama 110. Kami menyebutnya sebagai keluarga kedua, namun mereka di luar sana menyebutnya dengan OSIS - MPK SMA Negeri 12 Jakarta Masa Bakti 2012 - 2013. Kami adalah sekelompok orang yang dipilih oleh warga sekolah dengan 1 visi, menyalurkan aspirasi warga sekolah. Kami berasal dari suku, agama, budaya, dan latar belakang yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan, enam bulan, satu tahun. Akhirnya sampailah kami semua ber 61 di penghujung pengabdian kami pada sekolah yang berukuran tidak lebih besar dari sekolah-sekolah menengah atas lainnya. Sampailah kami disatu tahunnya kami mengabdi. Sampailah kami pada suatu titik yang kami sebut sebagai 'perpisahan'. Namun, sekali lagi, kami menyakini bahwa perpisahan ini bukanlah akhir dari semuanya, melainkan sebagai titik awal dalam meraih kesuksesan kami masing-masing.

Ya, kami berpisah. Berpisah tepat di tanggal 1 Oktober 2013. Perpisahan adalah hal yang paling di benci hampir dari seluruh umat manusia, termasuk kami, termasuk gue. Gue benci banget sama kejadian tanggal 1 Oktober itu. Tanggal yang mengharuskan gue - seseorang yang amat sangat mendambakan sosok kakak - untuk melepas mereka. Membiarkan mereka meraih apa yang mereka cita-citakan. Membiarkan mereka untuk enggak lagi masuk ke ruang kecil  yang kami sebut 110, ruang osis tercinta. Mungkin ini adalah hal yang gak wajar, lebay, bahkan menjijikan bagi sebagian orang di luar sana yang sama sekali memandang ruang kecil itu tak bermakna. Tapi sekali lagi, ruang kecil itu, 110, telah memberikan begitu banyak kenangan buat kami, 12'13, Aloza.

110 udah begitu banyak memberikan suka, duka, tawa, air mata, kebisuan, kesunyian, dan semua yang gak pernah gue temuin di tempat lain. 110 adalah rumah kedua untuk kami. Tempat di mana kami dapat mengekspresikan semuanya, bebas, lepas. Tempat di mana kami dapat saling lebih mengenal antara satu dengan yang lainnya Tempat yang selalu sumpek, pengap, sempit, tapi selalu dirindukan oleh kami, Aloza. Di 110 pula lah gue bisa manggil 'kakak' dan menjadi adik untuk pertama kalinya. Walaupun kami gada hubungan darah, tapi percayalah, gue bener-bener bangga, seneng, puas bisa manggil mereka dengan sebutan, kakak. Saat di mana sosok mereka mampu ngedobrak semangat gue, ngebangkitin gairah gue untuk terus berkarya di 110. Ya, semuanya berawal dari sini, 110.......

Kami saling mengerti satu sama lain. Kami saling melindungi. Kami bekerja dan mengabdi atas dasar kekeluargaan dan profesionalitas. Gue bener-bener bebas untuk menjadi adik. Gue bebas manggil mereka kakak di 110 dan di mana pun. Gue jadi adik! Ya, adik. Ketika orang lain di luar sana saling ngejudge satu sama lain, cuma kita yang masih bisa nyemangatin satu sama lain. Walaupun beberapa dari mereka masih ada yang berperilaku tidak sopan, tapi gue bener-bener kangen sosok kakak yang gue temuin di diri mereka.

Swadaya, proposal, lpj, denda, caci maki, kebohongan, ketawa bareng, nangis bareng, deadline di mana-mana, marah satu sama lain, sindir-sindiran, ketulusan, pengorbanan........itu adalah hal yang udah gue lewatin 1 tahun bersama kakak-kakak 12'13.

Teruntuk Amoradoloza Pratavartitha,
Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih, 110. Terima kasih, Aloza{}

Salam rock and roll dari Angbid 1 OSIS

Kamis, 13 Februari 2014

Aku Ingin Kembali, Tuhan

Malam pun kembali. Penghuni langit tampak begitu ceria menemani angin yang kini semakin merasuki tulang. Kesejukan begitu terasa. Tenang. Sunyi. Aku merasakannya begitu dalam. Lama. Lama sekali aku terpaku pada keheningan. Pada setiap hembusan napas yang....yang tak pernah aku syukuri pada Sang Pencipta tubuh dan raga ini. Ah, Tuhan.....

Malam semakin larut. Penghuni langit pun semakin lama semakin menjauh dan hilang. Jarum jam di pojok ruangan kecil ini pun terus berputar bersama pikiranku yang semakin jauh melayang. Aku terdiam lama memandangi semua foto-foto, dari laptopku, yang sedari tadi terus menyala. Aku tersenyum tipis saat melihat foto-foto itu. Foto-foto yang penuh arti, bisikku lirih. Aku kembali membisu. Kumainkan kembali kursor untuk mengganti foto demi foto yang telah lama kusimpan dalam memori laptopku. Tanpa terasa butiran-butiran kecil itu mengalir dari ujung mataku. Mengalir perlahan demi perlahan.

Tuhan.......

Aku merindukan mereka. Aku merindukan diriku yang dulu. Aku merindukan sosok sahabat-sahabatku yang dulu. Aku merindukan suasana ketika aku mampu tertawa lepas tanpa beban. Aku merindukan sosok guru-guru hebat yang tak pernah lelah mengajariku hingga aku mengerti. Aku merindukan saat-saat dimana aku dapat bermanja-manja dengan kedua orang tuaku. Sungguh, Tuhan. Aku juga merindukan saat aku mampu mengukir begitu banyak prestasi di sekolahku. Saat dimana aku mampu membuktikan bahwa aku bisa melakukan yang terbaik untuk diriku sendiri. Saat aku mampu berdiri di depan semua orang dengan prestasi yang telah aku raih. Saat aku membuktikan itu semua kepada kedua orang tuaku. Ya, aku merindukan semua itu, Tuhan. Aku.........Aku.........Ah, Tuhan....Kenapa Kau membiarkan waktu bergulir begitu cepat. Kenapa Kau membiarkan aku terjebak dalam semua kenangan ini. Kenapa, Tuhan?

Aku ingin kembali, Tuhan.....

Aku ingin menjadi anak kecil yang mampu bermain tanpa henti. Tertawa lepas tanpa beban. Bermanja berlama-lama dengan malaikat terhebat yang aku miliki. Belajar tanpa henti bersama guru-guru hebat yang kutemui. Mengukir berjuta prestasi semampu yang aku bisa. Aku ingin sahabat-sahabatku kembali. Aku ingin aku dan mereka dapat bersenda gurau kembali seperti dulu, sebelum waktu merubah segalanya. Sebelum aku menjadi sosok yang tak lagi ku kenal. Sebelum aku benar-benar harus berpisah bersama sahabat-sahabatku. Sebelum deadline-deadline itu datang tanpa henti. Sebelum aku mengeti arti hidup. Sebelum aku mengerti arti pengorbanan. Sebelum aku mengerti bahwa perpisahan adalah pasti. Sebelum........Sebelum.........Sebelum.........

Aku ingin kembali, Tuhan.......

Tangisku semakin kencang. Memecah kesunyian yang sedari tadi menyelimuti ruangan kecil bercat hijau ini. Jarum jam terus berputar dan berputar. Seolah membiarkanku terjebak dalam semua kenangan masa laluku. Aku merindukan itu semua! Semua. Ya, semuanya.

Ah, Tuhan......

Aku ingin kembali......

Sedetik kemudian ku ambil handphone yang tergeletak di atas kasur. Ku tekan beberapa tombol yang dapat menghubungiku dengan seseorang yang mungkin masih terjaga di sana. Kukirimkan pesan singkat ke nomor yang ku tuju. Lama aku menunggu balasan. Kembali aku mainkan kursor. Melihat-lihat setiap foto yang kusimpan. Selang kemudian handphoneku berbunyi. Tanda pesan masuk. Ah, ternyata dia masih terjaga, pikirku kemudian. Lalu segera ku baca balasannya. Dan........cukup lama aku terpaku memandangi setiap kata yang dikirimnya. Memahami bahwa aku benar-benar mengerti apa yang dimaksud olehnya. Mengerti bahwa memang waktu benar-benar telah merubah segalanya.....

"Hidup enggak selalu ada di atas. Kadang kita juga harus ada di bawah. Dan setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Lo cuma harus jadi diri lo sendiri. Jangan terus terjebak di masa lalu. Liat masa depan. Masih banyak yang harus lo perbuat. Move on!"

Tanpa ku sadari secercah harapan kembali muncul. Be the best as you can!, ucapku lirih.