Inilah aku. Sosok manusia yang dulu sempat menjadi kebanggan mereka. Inilah aku. Sosok manusia yang mungkin sekarang, tak ubahnya abu yang dapat dengan mudahnya singgah pada tempat yang ditemuinya. Waktu bergulir begitu cepat membiarkan aku tumbuh menjadi sosok yang tak lagi aku kenal. Menjadi sosok yang terkadang tak pernah ku duga, tak pernah ku bayangan, dan tak pernah ku harapkan!
Sulit rasanya menerima kenyataan bahwa aku bukanlah aku. Ya, sekali lagi. Aku bukan aku! Entah siapa yang telah berubah, aku atau memamg beginikah adanya? Sulit sekali ku pahami. Berulang kali sudah ku tanyakan pada Tuhan tentang semua yang telah terjadi padaku. Tapi sepertinya Tuhan hanya mendengarkan setiap celotehan dan semua pertanyaanku dan menunggu waktu yang tepat untuk memberitahuku akan semua ini. Ah, sudahlah.
Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Setiap tempat pun telah berubah. Suasana tak lagi sama. Memori tinggalah memori. Beribu peran pun sudah ku mainkan di setiap tempat. Tapi tetap saja, aku bukanlah aku. Pertanyaan demi pertanyaan itu tak pernah lelah membayangi setiap sudut cerebrum ini. Aku terus mengabaikannya. Tapi tetap saja, aku tak bisa mengelak bahwa aku bukanlah aku.
Sampai titik dari semua titik itu pun tiba. Emosiku memuncak. Aku di luar kendali. Aku mencaci setiap apa pun yang ku perbuat. Aku mencaci setiap apa yang ku pikirkan. Persetan dengan semua pertanyaan itu! Bersyukur jauh lebih penting, hei manusia! Bodoh! Kau tak lebih dari anak dungu yang terus saja mempertanyakan siapa dirimu, apa kau tahu itu? Persetan dengan semua! Aku mengutuki diriku. Aku di luar kendali dan benar-benar seperti orang yang kerasukan.
Aku pun berusaha menenangkan diriku. Tenggelam bersama alam bawah sadarku. Melayang dalam mimpi yang entah ku tahu. Mencari setitik jawaban dari semuanya. Beberapa saat kemudian aku pun terbangun dari perjalanan jauhku. Aku pun sadar akan semua.
Dan kini....
Semuanya telah berubah. Aku bukanlah aku. Namun, aku mendapat sebuah jawaban dari semua yang telah terjadi. Cukuplah kita memainkan peran dengan sebaik mungkin atas skenario yang telah Tuhan berikan, walaupun aku bukanlah aku, dan kau bukanlah kau.
Terima kasih, untukMu, Tuhan.......
Minggu, 30 Maret 2014
Kamis, 13 Maret 2014
Semuanya Telah Berubah
Angin kembali menyibakkan rambut hitamku. Menggugurkan satu per satu daun yang tak lagi kuat bertahan pada setiap ranting. Burung pun ikut serta hilir mudik. Mencari peraduan yang sekiranya mampu sebagai tempat bermalam dan melepas lelah. Aku masih sibuk duduk termenung di bawah pohon besar di ujung taman ini. Merasakan angin yang kini semakin lama semakin sering menyibakkan rambutku. Menikmati indahnya taman di sore menjelang malam ini. Dan mencoba mengerti tentang semua permasalahan yang kini tengah terjadi.
Semuanya telah berubah. Dunia semakin kejam! Benarkah? Atau mungkin, memang manusia yang tiada pernah berhenti bersyukur pada Dzat yang telah memberinya begitu banyak oksigen sampai detik ini? Ah, aku bingung. Bingung bahkan mungkin lelah untuk mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi. Kabar burung itu datang silih berganti. Kejadian demi kejadian seakan sebagai episode demi episode dalam drama ftv yang sering diputarkan dalam beberapa stasiun televisi. Mengancam setiap yang bernapas. Memburu setiap darah yang mengalir. Aku takut! Tuhan, aku takut dengan semua ini, Tuhan. Semuanya telah berubah.
Lalu siapa lagi yang dapat ku percayai, Tuhan?
Aku kembali tertunduk setelah menarik napas dan menghembuskannya kembali. Sedetik kemudian ku genggam erat besi yang sedari tadi menjadi tempat dudukku. Aku pun menarik napas dan menghembuskannya lagi. Dari jauh, rumput seakan menertawakan keberadaanku di tempat yang kini tak lagi ramai. Aku bingung. Sungguh. Aku takut. Aku.....Aku....
Siapa lagi yang dapat ku percayai selain Engkau, Tuhan?
Semuanya telah berubah. Semuanya. Tak ada lagi yang tersisa. Kini, hanya ada Engkau dan beberapa makhluk cipataan Mu yang sekiranya masih mengingat Engkau dalam setiap hembusan napasnya. Aku ingin kembali seperti dulu. Merasakan ketenangan. Memiliki rasa percaya pada orang lain. Menaruh rasa empati pada setiap orang yang ku temui. Menjadi makhluk normal tanpa harus memliki rasa takut untuk mengenal orang baru dalam hidupku. Ya, memiliki sedikit saja rasa percaya pada orang baru. Orang baru. Benar. Ya, orang baru yang sekiranya dapat membuat hidupku menjadi lebih baik. Ah, ku harap aku tak berlebihan dengan semua ini.
Ya, semuanya telah berubah. Krisis iman dan kepercayaan melanda bak ombak yang kapan saja dengan mudahnya menerjang rumah-rumah penduduk di sekitar pesisir pantai. Semuanya benar-benar telah berubah. Untuk ke sekian kalinya, Tuhan, siapa lagi yang dapat ku percayai? Berita di luar sana begitu mengerikan. Peristiwa itu tak masuk akal, tapi......
Siapa lagi yang dapat ku percayai, Tuhan?
Semuanya telah berubah. Dunia semakin kejam! Benarkah? Atau mungkin, memang manusia yang tiada pernah berhenti bersyukur pada Dzat yang telah memberinya begitu banyak oksigen sampai detik ini? Ah, aku bingung. Bingung bahkan mungkin lelah untuk mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi. Kabar burung itu datang silih berganti. Kejadian demi kejadian seakan sebagai episode demi episode dalam drama ftv yang sering diputarkan dalam beberapa stasiun televisi. Mengancam setiap yang bernapas. Memburu setiap darah yang mengalir. Aku takut! Tuhan, aku takut dengan semua ini, Tuhan. Semuanya telah berubah.
Lalu siapa lagi yang dapat ku percayai, Tuhan?
Aku kembali tertunduk setelah menarik napas dan menghembuskannya kembali. Sedetik kemudian ku genggam erat besi yang sedari tadi menjadi tempat dudukku. Aku pun menarik napas dan menghembuskannya lagi. Dari jauh, rumput seakan menertawakan keberadaanku di tempat yang kini tak lagi ramai. Aku bingung. Sungguh. Aku takut. Aku.....Aku....
Siapa lagi yang dapat ku percayai selain Engkau, Tuhan?
Semuanya telah berubah. Semuanya. Tak ada lagi yang tersisa. Kini, hanya ada Engkau dan beberapa makhluk cipataan Mu yang sekiranya masih mengingat Engkau dalam setiap hembusan napasnya. Aku ingin kembali seperti dulu. Merasakan ketenangan. Memiliki rasa percaya pada orang lain. Menaruh rasa empati pada setiap orang yang ku temui. Menjadi makhluk normal tanpa harus memliki rasa takut untuk mengenal orang baru dalam hidupku. Ya, memiliki sedikit saja rasa percaya pada orang baru. Orang baru. Benar. Ya, orang baru yang sekiranya dapat membuat hidupku menjadi lebih baik. Ah, ku harap aku tak berlebihan dengan semua ini.
Ya, semuanya telah berubah. Krisis iman dan kepercayaan melanda bak ombak yang kapan saja dengan mudahnya menerjang rumah-rumah penduduk di sekitar pesisir pantai. Semuanya benar-benar telah berubah. Untuk ke sekian kalinya, Tuhan, siapa lagi yang dapat ku percayai? Berita di luar sana begitu mengerikan. Peristiwa itu tak masuk akal, tapi......
Siapa lagi yang dapat ku percayai, Tuhan?
Untuk yang Tak Dapat Ku Gapai
Hai sosok yang tak dapat ku gapai.......
Semoga kau tetap bahagia dan dapat selalu tersenyum lepas bersama orang-orang baru di sekelilingmu. Ini aku. Sosok yang tak dapat menggapaimu. Sosok yang selalu merindukan memori usang itu kembali, seperti film dokumenter yang sekiranya dapat kembali diputarkan di bioskop. Semoga kau baik-baik saja bersama mereka, orang-orang baru yang kini menjadi bagian dalam hidupmu. Aku di sini pun baik-baik saja. Aku, masih aku, yang sepuluh tahun lalu kau tinggalkan tanpa sepatah kata pun, saat kau, dengan langkah mantap meninggalkan ibu kota yang ramai dengan gemerlap dunia malamnya. Ya, aku masih di sini. Menunggumu yang semakin lama semakin hilang keberadaannya.
Hai sosok yang tak dapat ku gapai.......
Semoga kau bahagia menikmati alur hidupmu yang baru. Semoga kau dapat bertemu dengan sosok yang sekiranya dapat lebih baik dariku. Semoga kau, tetap menjadi kau, yang ku kenal sepuluh tahun lalu. Semoga kau tak pernah merasakan apa yang ku rasakan, ya. Semoga kau.....Semoga....Semoga.....Ah, sudahlah.
Hai sosok yang tak dapat ku gapai.......
Aku tak ingin meminta lebih padamu. Aku tak ingin membuatmu menjadi lebih sibuk untuk mengingat keberadaan sosok seperti aku. Aku hanya meminta satu. Dapatkah kau kembali hanya untuk mengatakan sepatah kata perpisahan pada sosok yang begitu merindukanmu ini?
Semoga kau tetap bahagia dan dapat selalu tersenyum lepas bersama orang-orang baru di sekelilingmu. Ini aku. Sosok yang tak dapat menggapaimu. Sosok yang selalu merindukan memori usang itu kembali, seperti film dokumenter yang sekiranya dapat kembali diputarkan di bioskop. Semoga kau baik-baik saja bersama mereka, orang-orang baru yang kini menjadi bagian dalam hidupmu. Aku di sini pun baik-baik saja. Aku, masih aku, yang sepuluh tahun lalu kau tinggalkan tanpa sepatah kata pun, saat kau, dengan langkah mantap meninggalkan ibu kota yang ramai dengan gemerlap dunia malamnya. Ya, aku masih di sini. Menunggumu yang semakin lama semakin hilang keberadaannya.
Hai sosok yang tak dapat ku gapai.......
Semoga kau bahagia menikmati alur hidupmu yang baru. Semoga kau dapat bertemu dengan sosok yang sekiranya dapat lebih baik dariku. Semoga kau, tetap menjadi kau, yang ku kenal sepuluh tahun lalu. Semoga kau tak pernah merasakan apa yang ku rasakan, ya. Semoga kau.....Semoga....Semoga.....Ah, sudahlah.
Hai sosok yang tak dapat ku gapai.......
Aku tak ingin meminta lebih padamu. Aku tak ingin membuatmu menjadi lebih sibuk untuk mengingat keberadaan sosok seperti aku. Aku hanya meminta satu. Dapatkah kau kembali hanya untuk mengatakan sepatah kata perpisahan pada sosok yang begitu merindukanmu ini?
Sosok yang Tak Dapat Menggapaimu
Langganan:
Postingan (Atom)