Kamis, 08 Desember 2011

Arti Hidup

K


ringggggggggg............
 Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Terdengar jelas diseluruh penjuru sekolah. Kini, suasana kelas layaknya pasar. Semua anak bersorak kegirangan.

“Horeeee...pulang” seru salah seorang anak di dekat pintu.

“Pulang..pulang..pulang!” seru semua anak serentak.
Mereka pun bergegas berkemas-kemas, dan segera pulang. Sedangkan Bu May, masih sibuk dengan segala tugas anak-anak di mejanya. Mungkin, ia bingung apa yang harus ia dahulukan. Tugas anak-anak ataukah segera memulangkan mereka.


 Di sudut kelas, 2 deretan terakhir di belakang, terlihat seorang anak laki yang tengah memandang luas ke langit biru. Sebut saja namanya, Giri. Anak sulung dari keluarga yang sederhana, yang tinggal di sebuah rumah, di sudut kota metropolitan. Entah mengapa hari ini cuaca sungguh tak bersahabat. Awan seakan berjalan lambat, tak seperti biasanya. Angin pun seolah tak ingin berhembus. Dan burung seakan tak ingin lagi bernyanyi atau pun terbang tinggi. Semua seakan berbeda. Untuk hari ini. Tak berapa lama, ia pun tersadar dari lamunannya ketika Bu May menepuk pundak bocah berusia 7 tahun itu.

“Giri....., kamu mau pulang engga, nak?” Bu May menepuk pundak Giri. Suaranya halus dan lembut. Giri hanya menjawab pertanyaan Bu May dengan sebuah anggukan kepala, yang mungkin dirasa cukup olehnya. “Kalau begitu, ayo! Cepat kamu bereskan semuannya. Teman-temannu yang lain sudah menunggu. Ayo, nak!” perintah Bu May dengan halus. Sikapnya sungguh keibuan, walau usianya masih terbilang muda.

“Ayo, Bu! Cepetan dong! Aku udah dijemput sama Papi tuh di mobil. Ayo, Bu!” seru Mamad sambil menunjuk ke arah mobil Avanza hitam itu.

“Iya, Bu. Ayo dong! Aku pengen pulang nih.” teriak anak dari meja yang lain.

“Baiklah, kalau sudah siap semuanya, marilah kita berdo’a sesuai dengan keyakinan masing-masing. Berdoaaaaaa mulai!” sahut Bu May yang tengah berdiri di depan kelas. Memimpin do’a. Semua khusyuk berdo’a. Selang beberapa menit, “Doaaaaaa selesai!”.


 Setelah menyalami Bu May, anak-anak pun berhamburan keluar kelas, termasuk Giri. Semua jemputan sudah menunggu anak-anak itu di bawah. Mulai dari yang bawa sepeda, motor, mobil sampai pesawat. #Lho? Emang ada? Haha... 


 Giri pun menuruni anak tangga satu per satu. Sampai tiba di anak tangga yang terakhir, dilihatnya seisi lapangan yang luas itu. Mencari-cari kemanakah kakeknya yang seharusnya menjemputnya tepat pukul 12.00 WIB. Selang beberapa menit, bunyi motor yang sangat dikenalnya terdengar jelas.

“Papaaaaa!” ia pun berlari menuju kakeknya yang tengah mematikan motornya itu.
“Maaf ya, Ri, Papa teh jemput kamu telat. Hmm..kamu engga apa-apa kan?” tanyanya pada cucu semata wayangnya itu.

“Engga kok, Pa. Lihat nih!” sahutnya sambil memutarkan badanya. “Tuhh..Giri baik-baik aja kan? Engga ada yang luka.” lanjutnya kemudian. Namun, Kakek hanya membalasnya dengan sebuah senyuman.

“Kalo begitu, cepat kamu naik! Papa mau ajak kamu ke suatu tempat! Hayo atuh!” perintah Papa. Pak Nanan alias Kakek Giri. Pak Nanan sangat menyayangi cucu semata wayangnya itu. Maklum, Giri telah tinggal bersamanya sejak kecil. Sejak ia ditinggal pergi oleh sang Papa ketika masih berusia 5 tahun sewaktu di kampung halaman. Lantas, Pak Nanan-lah pengganti Papa bagi Giri dan wajar saja jika Giri selalu memanggilnya dengan sebutan “Papa”. Dan sampai detik ini pun Giri masih bingung, sebab Papanya yang kerja tak kunjung pulang.


                                                         ***

Sesampainya di Rumah Sakit Harapan Sembuh.....

“Pa, kok kita pergi ke rumahnya Pak Dokter sih? Emang siapa yang sakit? Kan Giri engga sakit, Pa?” tanyanya dengan bingung Tak tahu mengapa Papanya alias Kakekenya membawanya ke sana.

“Hmmm....begini, nak......” ia memotong kalimatnya, “Hmm.. yaudah. Kamu ikut Papa aja! Nanti kamu juga tahu kok.” Pak Nanan pun menggengam tangan bocah itu. Dengan mantap, ia melangkah bersama Papanya. Namun, setelah beberapa langkah, tepat di muka pintu gerbang, seorang lelaki bertubuh tinggi, berpakaian merah, berjelana jeans yang tengah membawa handphone menghampirinya.

“Eh, dede. Udah sampai di sini? Kapan nyampenya, dek?” sapanya pada Giri yang tengah bingung sembari mematikan handphone yang digenggamnya.

“Lah? Kok Om Farhan ada di sini?”

“Iya atuh, dede. Yaudah atuh, cepet kamu masuk sama Papa!”

“Emang siapa yang sakit sih, Om? Dede jadi penasaran deh.” ia pun menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.

“Yaudah, kamu ikut sama Papa aja. Nanti Om nyusul. Om mau beli pulsa dulu. Oke?”

“Oke deh...” Mereka pun bertossan. 

 Langkah demi langkah membuat hati Pak Nanan menjadi tak tenang. Ia takut jika ia tak bisa menjawab pertanyaan yang akan dilontarkan Giri padanya nanti. Ia bingung. Berusaha untuk memutar otaknya. Sedangkan Giri yang berjalan disampingnya, seolah begitu tenang. Seakan merasa tak ada hal yang terjadi. Matanya melihat-lihat ke arah kanan dan kiri Rumah Sakit. Setelah beberapa meter dari pintu gerbang, sampailah ia di suatu ruangan. Pavilium V. Ruang Harapan. Kamar 7. Dengan rasa tenang dan ke kanak-kanakkannya, Giri melangkah dengan mantap memasuki ruangan tersebut. Ia benar-benar masih kecil untuk mengetahui apa yang terjadi. Oh, Tuhannnn....

 “Dek, ayo masuk!” ajak Papa pada dede.

“Eh ada dede.” sambut suara wanita setengah baya yang memakai baju kuning disertai jilbab yang menutupi kepalanya. Namun, Giri acuh padanya. Ia hanya terkejut saat melihat sang Bunda terbaring lemas di tempat tidur.

 “Bundaaaaaaa....” Giri langsung memeluk Bunda. Bau obat-obatan di atas meja, di sebelah Bunda, menusuk hidung. Membuatnya sedikit risih. Ia tak menyukai obat. Bau. “Bunda sakit apa sih? Kok pake nginep segala di rumahnya Pak Dokter? Nanti kalo Bunda disuntik gimana?” tuturnya panjang lebar.

“Hmmm..Bunda engga apa-apa kok, de. Cuma sakit biasa aja.” jawab Bunda dengan penuh kehobongan pada anak sulungnya itu. Bunda bukanlah malaikat. Namun, ia berusaha sekuat tenaga agar anaknya tak merasa cemas padanya..

“Yaudah, kan dede udah liat Bunda nih. Sekarang ikut Papa sama Nenek, yuk! Biar nanti Om Farhan yang jagain Bunda di sini.” Nenek pun mengajak Giri untuk ikut bersamanya. Pergi ke rumah Kak Aul.

“Hmm..Bunda, dede pergi ke rumahnya Kak Aul dulu, ya. Bunda di sini baik-baik aja. Jangan nakal!” nasehatnya pada Bunda. Nenek, Papa, dan Bunda hanya tersenyum melihat malaikat kecilnya.

***

“Assalamu’alaikum.....”

“Wa’alaikumsalam....” sahutku dari dalam rumah. “Eh, ada Giri. Udah pulang sekolah, de?” aku pun membukakan pintu pagar saat melihat Giri, Kakek Nanan dan Nenek Nanan.  

“Udah dong, Kak...” Giri pun menyalamiku. “Kak, ada Kakak Adit engga?”

“Yahh...Kak Adit belum pulang sekolah, de. Yaudah dede masuk dulu. Aku buatin minum.

“Hmmm...Ok deh kalo begitu.” sahutnya sambil mengacungkan jempolnya.

Aku pun menyalami Kakek dan Nenek serta mempersilahkannya masuk ke dalam. Mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu. Namun, mereka lebih memilih untuk berada di ruang keluarga, sambil menonton televisi. Setelah ku buatkan tiga cangkir teh manis beserta kue-kue kecil, aku memanggil Ibu, Nek Lia, Kakek Yadi dan Zura. Tak lama berselang mereka turun dari atas.

Pembicaraan hangat namun serius kini mulia terjadi. Basa-basi yang dilontarkan Kakek Nanan membuatku semakin curiga atas apa yang sedang terjadi. Namun, ku berusaha menghilangkan segala pikiran jelek yang terlintas dalam benakku dengan bermain bersama dek Giri dan adikku, Zura.

Tak lama kemudian, terdengar suara Nek Lia yang sontak membuatku kaget.

“Apaaaaaa? Si Tari masuk rumah sakit? Kenapa?”, sontak suara Nek Lia membuat degup jantungku tak lagi berirama. Aku kaget. Dan sungguh, saat ku mendengar bahwa penyakit yang diderita Tante Tari bukanlah sakit yang biasa. Melainkan, sebuah penyakit dimana seluruh oragan tubuhnya tidak berfungsi lagi.

Tuhan, ujian apa yang tengah kau berikan pada keluarga kami ini? bisikku pelan.

 Setelah ba’da ashar, mereka bertiga kembali ke rumah sakit. Menemani tante Tari yang tengah di opname. Namun, setelah beberapa jam mereka pergi, tepatnya saat magrib, terdengar suara telepon rumah berdering. Kini, degup jantungku benar-benar tak bisa berirama lagi. Aku takut. Seolah aku tak ingin mendengar hal apa pun dari telepon rumah itu. Ku pejamkam mata dan menutup telinga dengan kedua tangannku. Di sampingku berdiri Zura yang juga melakukan hal yang sama padaku.

 “Kamu kenapa, dek?”

“Atu itutin kaka.” jawabnya dengan polos. Aku hanya tersenyum melihat tingkah adikku. Sedangkan Nek Lia masih menerima telepon, yang entah ku tak tahu dari siapakah itu. Sesaat kemudian, telepon jatuh dari tangan Nek Lia.

“Ada apa? Kenapa? Telepon dari siapa?” aku pun menghampiri Nek Lia.

“Da...daaa...dari Kaken Nanan...” sahutnya disertai air mata yang bercucuran. Deg! Aku jatuh. Air mataku mulai berlinang. Pikiran-pikiran itu mulai kembali terlintas dalam benakku.

“Emang kenapa? Apa yang terjadi? Kondisi tante Tari?” tanyaku dengan penasaran.

“Sudah! Cepat kamu cari Ibu dan Ayahmu.” Aku pun segera ku berlari keluar mencari Ibu dan Ayah yang tengah pergi. Berlari dan terus berlari. Entah dimana nanti ke bertemu dengan mereka. yang ada dalam pikiranku hanyalah bisa bertemu Ibu atau Ayah di jalan nanti. Ya.

Ku lihat wanita berpakaian biru muda bercelana hitam dan kerudung biru tengah berjalan bersama seorang laki-laki tinggi yang membawa tas hitam.

Mungkin itu Ibu dan Ayah.

 Dan benar!

“Ibuuuu..... Ayahh....” sesampainya aku di muka Ibu dan Ayah. Nafasku sesak.
“Ada apa sih kamu, nak? Kok lari-lari seperti orang dikejar-kejar hantu.” Ibu pun menenangkan aku yang masih terlihat syok.

“Hhh..itu, Bu. Taaa...Taa..Tante Tari!”

“Kenapa sayang? Kenapa Tante Tari?” Ibu mengguncang-guncangkan badanku.

“Tenang” Ayah pun berusaha menenangkan kami Aku menceritakan hal yang kulihat. Dan kami memutuskan untuk segera pergi ke Rumah Sakit Harapan Sembuh.

***

  Sesampainya di rumah sakit, Tante Tari tak lagi berada di ruangan 7, melainkan di ruang isolasi. Semua yang berada di sana tengah membicarakan kondisi Tante Tari. 


 “Dek, Bunda dede kenapa?” aku menghampiri giri yang tengah asyik bermain PSP di luar ruangan.

“Gatau. Dede bingung. Masa dede pengen ketemu Bunda, kak. Tapiiiii...Bunda malah ngusir dede. Dede bingung, ka.” sahutnya dengan sedih. Aku tahu mengapa Tante melakukan hal itu.

“Ya sudah, mungkin Bunda dede engga mau diganggu. Mau istirahat. Kan lagi sakit.” Aku berusaha menenangkan Giri yang kini mulai tak acuh dengan kehadiranku.

Jam yang berputar seolah terasa lambat. Detik pun terus berjalan. Suasana di ruang isolasi kini sungguh terasa tak nyaman. Seoalah ada kehadiran lain. Aku terkejut saat memasuki ruang isolasi untuk melihat kondisi Tante.

“Sudah! Semuanya jangan berdiri di depan pintu. Ada yang ingin lewat! Biarkan mereka masuk bertemu denganku.....” kata Tante Tari di tempat tidurnya. Semua terdiam. Hening seketika. Aku seakin heran dan bingung dengan apa yang terjadi. Berusaha untuk memutarkan otakku.

“Kek, tante Tari kenapa?” Aku menghampiri Kakek Yadi yang tengah berdiri dekat runagn isolasi itu.

“Entahlah...” kemudian, “Ada sesuatu yang ia lihat. Mereka yang berpakaian putih.”

 DEG! Aku lemas. Entah apa yang harus kukatakan. Aku tahu itu siapa. Semilir angin di luar ruangan terasa aneh. Hujan rintik-rintik menambah suasana yang kelam ini. Waktu pun terus berjalan. Kami berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi Tante Tari. Demi kesembuhannya. Dan kami sepakat untuk memindahkan Tante Tari ke rumah sakit yang lebih baik, di kawasan Cempaka Putih.

Sampai pada pukul 12.00 WIB, saat kami ingin pergi untuk memindahkan Tante ke rumah sakit yang telah kami sepakati beberapa jam yang lalu. Mobil ambulance telah tiba untuk menjemput kepindahan Tante Tari dari Rumah Sakit Harapan Sembuh. Semua memberikan jalan untuk lewat. Dan tepat di depan pintu ruang Pavilium V. Aku, Nek Lia dan beberapa petugas yang tengah mendorong kasur Tante terkejut.

“Tariiiii...Tariii...Tariiii..” Nek Lia terus mengguncang-guncangkan badan Tante, saat beberapa detik lalu kepalanya jatuh lemas ke sebelah kanan kasur.

“Nekkk..kenapa? Kenapa?” aku berusaha untuk menenangkan Nek Lia, namun ia acuh padaku. Petugas yang melihat Nek Lia pun ikut membangunkan Tante. 

“Ibu Tariiii.... Ibu Tari.... Ibuu..Bangun! Ayo, bangun! “ berulang mereka mengucapkan kata-kata itu sambil mengguncang-guncangkan kasurnya. Sampai tepat di lorong-lorong Pavilium....

Aku berlari mencari Giri, Kek Nanan dan Nek Nanan juga yang lain untuk memberitahu kejadian yang tadi.

“Pak, periksa denyut nadinya!” perintah Kek Nanan yang juga Bapak dari Tante Tari.

Semua histers. Menangis sejadi-jadinya. Saat mendengar bahwa denyut nadinya telah berhenti.

“Tanteeeee...”aku teriak sejadi-jadinya. Menangis di hadapan Tante.

“Tariiiiii.....jangan pergi ninggalin Bapak atuh! Gimana ini Giri! Dia butuh kamu. Bangun! Bangun!” Kek Nanan berusaha untuk kembali membangunkan Tante Tari dari tidur panjangnya. Tapi, apalah daya, Tuhan berkedendak lain.Keheningan yang menyelimuti rumah sakit seolah pecah dengan tangis keluarga kami. Aku langsung berlari mencari Giri dan memeluknya erat.

“Dek, lagi ngapain?”

“Main hape, Kak.” Jawabnya singkat.

Tuhannn..tak kau lihatkah malaikat kecil ini. Ia masih butuh kasaih sayang dari Tante Tari. Kenapa harus kau ambil Tante dari sisi kami secepat itu? Tegakah kau? Lihatlah Tuhann...

“Kak..kenapa semua orang nangis? Ada apa?

“Iya, ituuu...” potongku, “Hmmm...” aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. Aku menangis memeluk Giri yang tengah duduk di sampingku.

“Bunda kemana, Kak?”

“Hmmm... Bunda lagi pergi ke rumah Allah. Ke surga. Dede doain Bunda ya supaya Bunda tenang di Surga.” sahutku sesak.

“Dedeee......” tiba-tiba Kakek Nanan menghampiri kami. “Bunda de..”

“Iya, Bunda lagi pergi ke rumah Allah. Ke Surga, kata Kak Aul, Pa.”

“Ya Allah, kenapa sih si Tari mesti kau ambil darinya. Lihat atuh si Giri siapa yang ngurusin. Ia butuh kasih sayang. Bapaknya udah kau ambil, dan sekarang kau ambil juga ibunya.”

“Husss..Nanan! Engga boleh ngomong begitu. Ini sudah kehendakNya. Kita pasrahkan semua padaNya. Mungkin aa hikmah dibalik semua ini.” kata Nek Lia menimpali kalimat Kek Nanan.

Malam itu juga, jenazah Tante Tari dibawa ke kampung halaman untuk dimakamkan. Sedangkan Giri, masih dengan wajah yang polos, tak tahu apa yang terjadi pada Bundanya. Aku? Aku hanya menangis melihat nasib bocah malang itu.

Tuhannn..
Aku tahu Kau sedang memberikan ujian kepada kami, dan Kau berikan ujian tanpa pandang bulu. Aku tahu! Namun kenapa harus Giri yang mengalaminya? Kenapa, Tuhan?
Jika ini yang terbaik, berikanlah kami kekuatan, kesabaran dan keikhlasan dalam menghadapinya. Semoga, dibalik kejadian ini, akan ada hikmahnya. Dannn...satu pintaku padaMu. Jadikanlah dede Giri sebagai insan yang berguna bagi siapa pun kelak di kemudian hari, walau sang Bunda dan Papanya telah kau jemput keharibaanMu


                    -       SELESAI  -

0 Comment:

Posting Komentar